Wednesday, April 22, 2009 11:22 PM

Bali-Ketika kepercayaan terhadang logika

Ada sebuah hal yang menarik ketika pertengahan tahun lalu saya berlibur ke Bali. Memang, masalah ini tidak hanya saya amati ketika saya di Bali, tapi saya baru kepikiran untuk membahasnya ketika saya di Bali.
Kejadian itu bermula ketika saya sedang beduduk santai di pesisir pantai kuta. Saya duduk tidak jauh dari seorang penjaja papan surf yang disewakan. Badannya legam, berotot, memakai kacamata hitam, dan bertelanjang dada.
Tidak berselang lama, datanglah seorang wanita berpakaian adat Bali, membawa mangkuk berisi sesajian yang diletakan di tepi pantai. Memang, selama saya di Bali, saya sering melihat sesajian yang diletakan di pinggir jalan. Menurut kepercayaan mereka, dengan cara seperti itu lah, para "dewa" menjaga mereka. Dan jangan heran, bila disepanjang jalan-jalan dibali,selalu beraroma kemenyan. Sesajian yang diletakan untuk para dewa pun beraneka ragam jenisnya. Mulai dari sebatang rokok, telur rebus, aneka kue kering, dan lainnya.

Hal ini sebenernya tidak menjadi istimewa buat saya, karena saya mengerti bahwa memang seperti itu lah kepercayaan masyarakat Bali. Namun, yang membuat istimewa bagi saya adalah kejadian setelah itu. Apa yang terjadi setelah si wanita Bali meletakan sesajian nya di tepi pantai, berlutut, berdoa, lalu pergi, telah membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tentang fenomena ini. Sesaat setelah si wanita bali, penjaga papan selancar itu pun bergegas bangun dari kursi nya, menghampiri mangkuk sesajian itu, dan kembali ke kursinya. Ternyata dia mengambil sebatang rokok, dan sebutir telur rebus dari mangkuk sesajian itu.

Kontan saja saya tertarik untuk bertanya, apa yang ada di pikirannya, hingga dia sampai hari menyantap santapan untuk para "dewa" itu.

"Mas, mas orang Bali?", tanya saya. "Enggak, saya orang surabaya.. cuma udah lama nyari duit di Bali". Hmmm, pantes saja, karena dia tidak berpikir sama dengan yang dipikirkan si wanita Bali tadi. "Trus, kok mas berani ngambil sesajian itu? Itu kan buat para "dewa"", sindir saya. Dan dengan penuh wibawa dia menjawab. " Ya iya lah mas, mana ada dewa makan gini2an...situ ada ada aja deh...Dari pada mubadzir kebawa air laut, kan lumayan, telur dan rokoknya bisa saya santap..hehehehe..", celoteh dia dengan nada puas

Memang, di beberapa daerah di Indonesia, memiliki adat dan kebudayaan, serta kepercayaan yang berbeda-beda. Toh, ini lah salah satu kekayaan Bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Namun, hal ini selalu menjadi menarik buat saya. Ketika disatu sisi sekelompok orang percaya terhadap suatu tradisi, namun disisi lain orang lain lebih berpikir dengan logika nya.

Seperti misalnya di Jogja. Di Lapangan Alun-Alun terdapat dua buah pohon besar yang, konon, katanya, jika dengan mata tertutup sesorang bisa berjalan melewati pohon itu, berarti orang itu memiliki hati yang bersih. Dan kebetulan, ketika itu saya datang kesana bersama beberapa teman Jakarta saya, yang mungkin semua orang tau, Jakarta adalah kota realistis, kota dimana semua orang berpikir logis. Yang ada, hal ini menjadi guyonan bagi kami, warga Jakarta.

Namun bagaimanapun juga, ini lah kekayaan Bangsa Kita.

0 Comments On "Bali-Ketika kepercayaan terhadang logika"